Satu Derajat
- poetrynaut
- Nov 21, 2019
- 1 min read
Sudah kuceritakan tentang jurang dimana ku berjalan saat ini, kan?
Jurang dalam dan gelap.
Sedikit sekali cahaya yang menelusuk masuk.
Hujan, terik dan debu bergantian.
Menggelimpangi wajah, menutupi lembab pipi karena tetes asa.
Kini ku tersandera gurun pasir.
Badai gurun, dan oasis senja nyatanya fana.
Semua terlihat sama, bahkan bulan pun enggan berlama-lama.
Terdiam,
Berdoa;
Ada yang tak biasa.
Panas terik tetiba sembunyi.
Tergantikan sejuk bak bunga salju di penghujung Desember.
"Aku masih di gurun", pikirku.
Satu derajat.
Angin dingin di tengah rumun kenihilan.
Menghempas pelan, menyadarkanku dari lamunan.
Menggenggam jiwa, menuntun ke cahaya dengan spektrum ganda.
Ia datang darimana?
Harum dan tenang.
Lembut, sehalus kelopak kamboja di musim semi.
Dingin, namun menyucikan.
Dia siapa?
Kembali ku putar waktu.
Ah, ya. Dia ada di sana, di bulan Agustus.
Lima menit bertukar sapa.
"Ramah sekali", batinku.
Semesta kembali bercanda.
Kutemui ia lagi saat ku berkelana di dunia maya.
Ku beranikan diri bertanya.
Meski ku tak yakin, aku masih ada di selembar memorinya.
Dia masih ingat.
Bertukar narasi, lima kata menjadi lima paragraf.
Dari Nusa Penida, ke Lombok, lalu gunung.
Problematika negara, asal orang tua, buku yang dibaca, hewan yang dipelihara.
Masih banyak yang belum tertutur pandangnya.
Pertemuan kedua.
Masih banyak tanya di kepala. Namun ku tertawa.
Ia berbeda.
Satu derajat - ia berharmoni dalam sajak yang tak ku buat.
Ia adalah sajaknya sendiri.
Bukan rupa, bukan harta.
Hatinya, pancaran taqwanya.
Tuhan,
Mungkinkah ini jawab dari doa?
Terlalu mustahil untuk dipercaya, ada bunga di gurun gersang.
Dan ia - harumnya terlalu berharga.
Apa yang ia lihat di mataku?
Comments